spirit...

mimpi saja tak akan pernah cukup yang terpenting adalah bagaimana kita bangun dari mimpi untuk mewujudkannya bukan terus semakin terbuai dengan mimpi...
-tiezdimas-

sebuah catatan kecil

ENJOY READING MY BLOG HOPE YOU LIKE IT

Selasa, 11 Januari 2011

GARUDA DI DADAKAN (O2 News Bung Ferry)


Lagu Garuda Di Dadaku mendadak terdengar dimana-mana. Netral sekonyong-konyong diundang kemana-mana. Kaos timnas laku keras. Dimana-mana orang bangga pake kaos dengan lambang Garuda di dadanya. Antrian pembelian tiket pertandingan Tim Nasional memanjang kaya ular naga. Euforia ini dalam rangka menyambut lolosnya Tim Nasional Indonesia ke Final Piala Suzuki AFF. Padahal baru final. Padahal kita belum juara. Padahal sebelumnya kita pernah masuk final turnamen ini sebanyak 3x. Tapi itulah, publikasi besar-besaran di berbagai media, membanjirnya publik figur yang hadir di Senayan, serta harga tiket yang melambung, semua itu menjadi hal yang mewarnai euforia bangsa kita.

Ada banyak hal yg bikin terciptanya euforia itu. Selain publikasi besar-besaran di hampir seluruh media cetak dan elektronik, prestasi juga jadi penyebab. Kemenangan telak dalam 2 pertandingan awal Indonesia, terutama 5-1 melawan Malaysia, membuat Indonesia seperti bersatu mencari musuh2 baru. Kemudian muculnya Irfan Bachdim, pemain blasteran berwajah tampan yang menurut gw punya tehnik bagus tapi belum bisa dikatakan tehnik tinggi. Bangsa kita kan selalu butuh figur yang bisa jadi idola. Jadilah Irfan Bachdim yang baru nyetak 2 gol menjadi idola baru dan popularitasnya mengalahkan Bepe yang sudah 11 tahun di Timnas dan mencetak puluhah gol bagi Merah Putih.

Ironinya euforia itu menenggelamkan keluhan bahkan jeritan sebagian lagi yang terpaksa tidak bisa menyaksikan kesebelasan kebanggaannya berlaga. Jeritan dari manusia-manusia Indonesia yang justru selama ini setia memberikan dukungan pada Tim Nasional meski prestasi bagus tak kunjung tiba. Jeritan dari para loyalis yang tidak asing lagi dengan suasana Stadion Utama Senayan. Ada 2 kendala yang mereka hadapi sehingga sebagian besar dari mereka tidak bisa hadir secara langsung di Senayan betapapun besar hasrat tuk memberikan dukungan.

Harga tiket yang melambung tinggi. Dulu nonton di Senayan cukup merogoh saku 15 ribu rupiah di tribun atas dan 25 ribu rupiah di belakang gawang. Ketika mencapai harga 2x lipat di belakang gawang, masih banyak yang bisa menjangkau. Tapi ketika mencapai angka 75 ribu di belakang gawang dan 50 ribu di atas, meski masih banyak yang beli, mulai banyak keluhan. Apalagi final, tontonan ini menjadi tontonan termahal di Indonesia. Bayangkan nonton 22 manusia kecil-kecil sebesar ibu jari kita harus mengeluarkan uang hingga 100 ribu rupiah. Itupun dari jauh di belakang jaring gawang. Berarti setiap menit kita harus mengeluarkan uang seribu rupiah. Belum lagi kalo diliat tantangan tuk mencapai tujuan. Macet, jalan kaki jauh, masuknya repot, duduk ga terjamin........ wah, rasanya cuma orang yang gila bola aje yang tetep mau hadir.

Untuk mendapatkan tiket juga ga gampang, bahkan susah banget. Dulu karena ga banyak yang nonton, PSSI sangat kooperatif. Suporter2 Nasional yang dikoordinasi oleh the Jakmania selalu mendapatkan tiket lebih dahulu dan dalam jumlah besar. Pembayaran bisa dilakukan setelah pertandingan. Selama ini the Jakmania beserta suporter2 dari daerah sangat setia memberikan dukungan. Tidak pernah juga ada masalah dalam pembayaran tiket. Namun kali ini, PSSI hanya memberikan jatah pada suporter setia dengan jumlah yang minim. Dengan jumlah yang minim ini, the Jakmania tetap harus berbagi dengan saudara2 dari suporter yang datang jauh dari luar Jakarta.

Apa kemudian yang terjadi di stadion? Banyak sekali orang foto2 karena mungkin ini pertama kalinya mereka hadir di Senayan. Banyak juga orang yang komplen karena ga kebagian duduk. Tidak sedikit yang teriak2 dua jam sebelum pertandingan, buka baju, tapi begitu kebobolan lebih dahulu waktu lawan Thailand, langsung diam seribu bahasa. Duduk manis sambil tengok sana tengok sini cari jajanan. Kalo mo kencing, tempat duduk ditandain. Setiap ada yg mo duduk dibilang ada orangnye. Wah, udah kaya bioskop maen tek-tek tempat duduk. Beli tiket satu tapi duduk di kursi lebih dari satu karena bawa anak kecil.

Pada saat pertandingan, yel-yel juga kurang kompak. Kalo dulu yel-yel selalu diawali dengan the Jakmania dan rekan2 suporter yang sudah menjadi langganan nonton. Karena jumlahnya besar, yel lebih kompak dan terdengar kemana-mana sehingga yang lain tinggal ngikutin. Sekarang kelompok tsb jadi minoritas, yel-yel mereka tidak atau kurang terdengar sehingga lagu Garuda Di Dadaku dan Ayo Garuda jadi tidak pernah bisa kompak nyanyinye. Bayangin kalo kompak,...... lawan pasti tergetar seperti ketika lagu INDONESIA RAYA dinyanyikan bersama. Atraksi berupa gerakan tangan yang kompak yang selama ini jadi daya tarik bagi penonton lain terutama yang berasal dari luar negeri, .... hampir dapat dikatakan hilang.

Ah, inikah Senayan? Inikah suporter Indonesia? Dulu suporter Indonesia, terutama the Jakmania, sempat dijuluki sebagai FOOTBALL CRAZY FANS. Julukan itu tercetus di salah satu acara Star Sport ketika melihat the Jakmania memberikan dukungan pada Persija di turnamen Piala Emas Bang Yos. Kreativitas the Jakmania sebetulnya juga dilakukan hampir seluruh suporter klub bola di tanah air. Dan ketika mendukung tim nasional, seluruh suporter itu kompak gabung membentuk atraksi yang mengundang decak kagum bagi yang melihat. Tapi itu tinggal kenangan manis di benak gw. Hilang ditelan arus deras sepakbola profesional yang lebih mementingkan pemasukan. Tapi apa betul sepakbola profesional seperti itu?

Gw tidak anti dengan para suporter dadakan. Suporter yang mendadak merasa memiliki Tim nasional. Suporter yang mendadak bangga akan Garuda Di Dadanya. Suporter yang merasa bangga jadi Orang Indonesia. Mereka juga berhak kok. Toh kehadiran mereka juga positif buat Tim Nasional. Datang, pake segala atribut Merah Putih, dan terus memberikan dukungan selama 2x45 menit mesti dengan cara yang berbeda. Tapi adilkah ini bagi Suporter yang selama ini setia dan kini harus tersingkir? Memang mereka cuma bisa beli tiket murah. Tapi kalo dikumpulkan tiket murah itu sejak mereka mendukung Tim Nasional, rasanya nilainya masih lebih besar daripada para suporter dadakan tersebut.

Akhirnya gw cuma berharap PSSI memberikan ruang sedikit bagi para suporter militan tsb. Satu tribun aje. Satu Tribun di belakang gawang. Tempat kumpulan para suporter setia itu berkumpul. Tempat para suporter tsb beratraksi, berkreasi dan menjadi leader di Stadion Utama Senayan. Gw yakin 7.000 tempat di belakang gawang itu akan jadi sebuah tontonan menarik bagi seluruh penonton yang hadir. Dan lewat atraksi merekalah, seluruh Suporter Indonesia yang hadir disana akan ikut melakukan gerak, meneriakkan yel-yel dan serempak menyanyikan lagu GARUDA DI DADAKU yang akan menggetarkan semua lawan yg tampil. Masih bisakah kami berharap?

-Dicopy dari notes facebook Bung Ferry asisten manajer PERSIJA JAKARTA salah satu pendiri The Jakmania dan mantan Ketua Umum The Jakmania-

0 komentar:

Posting Komentar